Elha Husnan

Man Syakka Wajada

Kebangkitan Tuhan

2008, aku menulisnya. kutemukan kembali pada sebuah blog yang pada tahun yang sama aku buat sewaktu berada di surabaya. blog yang juga ada link-nya di sini, itu bernama Narsist. aku baca lagi, aku posting di sini. aku ingin ketawa, tetapi bangga juga. ternyata, dua tahun yang lalu itu aku sudah mengenal filsafat, rupanya. hehehehe….
(Sebuah Narasi Pasca Tuhan Dibantai Mati)
Cogito Ergo Sum, desak Descartes. Saya berpikir, karena itulah saya –terbukti- ada. Untuk pertama kalinya, rajutan realitas yang serba plural dan/atau parsial namun unik itu dibikin generalisasinya, dirumuskan secara atraktif dan mencengangkan tapi tidak meninggalkan esensi abstraknya. Ya, untuk kali permulaan,Misteriun Fascianum (baca; Tuhan) dipadatkan menjadi sekedar “aku”, sebentuk wujud yang amat material. Tuhan bukan lagi misteri yang mengagumkan, melainkan sosok-sosok ringkih yang kerap disebut dengan manusia.
Res-Cogitan descartes sama sekali bukan kentut, yang secepat buraq membikin wajah kita memerah, namun secepat itu pula raib sekalian mencekal gairah kita untuk meluapkan amarah. Descartes adalah tokoh besar yang memiliki kans penting dalam menggelindingkan roda enligthment –pencerahan. Karena itulah, descartes juga akrap disapa sebagai Bapak Rasionalisme Modern, yang atsar-atsarnya berdampak sangat hebat bagi kemajuan peradaban barat seperti tampak di mata kita hingga hari ini.
Descartes, tak kurang tak lebih, adalah Mujtahid Mutlaksekaligus Mujaddid dari Barat, yang peradaban Barat diolah di atas pondasi percik-percik pikirannya. Tanpa descartes, barangkali kita tidak akan pernah bisa menikmati film-film popHollywood, dan mungkin saja hanya mampu mengulum gores-gores patung ikonoklastik hasil buatan seniman abad delapan. Atau kita tak pernah akan sempat mengakrabi akrobat-akrobat politik George W. Bush dalam lomba persenjataan, dan cuma bisa menyaksikan model gelut pedang ala Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dari abad empat belas.
Membaca ulang riwayat descartes bukan hanya penting, melainkan sudah menjadi kewajiban fundamental bagi kita yang hidup di era Post-Modernitas. Suatu masa, kala superioritas barat dipertanyakan, saat kedigdayaan barat –mengutip Huntington- digertak oleh benturan peradaban.
Mengacu pada penjelasan pengarang Karl Marx, Andi Muawiyah Ramli, descartes tergolong “penyembah” materialisme –paham atau ideologfi serba materi- juga, meski tidak dalam arti yang sangat ketat. Alir pemikirannya ini kemudian diteruskan oleh, misalnya, Leibniz, Spinoza, Locke, Hume dll yang akhirnya bermuara pada rumus-rumus baku pemikiran sosialisme ilmiah-nya Marx dan Engels. Pada sayapnya yang lain, buih-buih materialisme berkembang pesat ke dalam Madzhab Saintifik, terutama di tangan Newton, hingga menemukan momentum fantastisnya pada Abad 20 yang terkenal dengan sebutan zaman teknologi.
Seperti dicuplik secara sepintas sebelumnya, “sisi hitam” descartes ini justru nampak pada rumusannya perihal res-cogitan atau idiomnya yang berbunyi Cogito Ergo Sum. Pada ungkapan “saya berpikir, karena itu saya ada” tersembullah jelas corak materialistik pemikiran descartes. Baginya, realitas ontologis (baca; kenyataan sebagaimana adanya) bermula dari eksisten aku atau saya. Entry point dari pemikiran descartes adalah Ego, sehingga tidak mengherankan apabika peradaban barat dominan memihak pada kecenderungan individualistis yang meterialis. Tanpa aku, dunia bukan lagi apa-apa, sebab akulah yang berpikir, akulah yang mencernakan dunia. Di tangan descartes, Misterium Fascianum (Sang Tuhan) didistorsikan sebegitu dahsyat sampai kehilangan kemisteriusannya. Karena kini, misteri tersebut telah terungkap, bahwa yang mengagumkan itu tak lain tak bukan adalah aku sendiri, manusia sebagai subyek yang utuh. (bahkan Tuhan ada dalam pikiranku –mengulangi konsep “Tuhan Sejarah” milik Erich Fromm)
Rumus Cogito descartes tidak saja melesat ke depan, lebih dari itu ia juga menghantam ke belakang. Kita tahu, konteks kelahiran pemikiran descartes lazim dikenal dengan FaseRenaissance (Era Kebangkitan Kembali). Maksudnya, memanggil kembali roh tradisi kebudayaan Yunani dan menghidupkannya kembali saat ini, setelah ia dibunuh secara keji oleh gereja. Memang, pada saat itu gereja menjadi cibiran –jika bukan luapan dendam. Atas nama tuhan, gereja menundukkan kepentingan berkaitan dengan rasio/akal. Ideologi gereja mengambil alih kebenaran, sekaligus menyumbat kemungkinan memancarnya sumber kebenaran lain, kecuali kebenaran yang telah dibaptis oleh para Saint (pendeta). Sesekali ayat-ayat tuhan pun dimanipulasi untuk meluluskan hasrat gereja. Masyarakat ilmiah yang baru tumbuh, yang mengetahui borok gereja tersebut, segera menabuh genderang perang. Transisi ini terjadi pada sekitar abad 15 sampai abad 17-an. Sedikit demi sedikit, superioritas ideologi gereja menyusut digantikan oleh supremasi akal.
Seiring dengan tumbangnya gereja, Tuhan atau Misterium Fascianum yang terdefinisikan dalam kategori-kategori keagamaan pun dibantai habis-habisan. Ya, pembantaian akal yang pernah dilakukan gereja dibalas dengan pembunuhan Tuhan. Cogito-nya descartes adalah salah satu kapak yang berkiprah paling besar dalam mengalirkan darah Tuhan. Pembantaian Tuhan ini kemudian terkenal dengan sebutan Sekularisme, wujud ideologi yang lumrah diaplikasikan oleh bangsa barat –dan yang dituding dengan stempel haram MUI, ha..ha..ha..! Al-hasil, sepanjang sejarah filsafat barat, proyek pembunuhan Tuhan bukan dimulai oleh Nietzsche yang berucap “The God is Dead”. Namun, keranda kematian Tuhan telah diarak sejak permulaan abad kebangkitan atau fase Renaissance. (Hipotesis saya ini masih mungkin diuji lebih lanjut). Demikianlah, sejarah barat dikonstruksi dengan material-material bangunan yang terdiri dari darah, belulang dan kafan Tuhan.
Dari sini, setidaknya terberi dua catatan yang sanggup saya tangkup. Pertama, tanpa membuang rasa kagum saya kepada Erich Fromm, konsepsinya perihal “Tuhan Sejarah” bukan tidak menyisakan persoalan sama sekali. Salah satunya adalah bahwa konsep “Tuhan Sejarah” seringkali difungsikan sebagi pembenaran atas probabilitas –ketidakmenentuan- pemahaman mengenai Tuhan. Afirmasi terhadap konsep “Tuhan Sejarah” seperti hendak menghindar dari penegasan keesaan Tuhan (Tauhid, dalam Islam). Inilah mengapa kemudian MUI mencekal sekularisme dengan label haram. (sekularisme dalam pemahaman MUI berbeda esensi dengan sekularisme usungan JIL. Hemat saya, sengketa di antara kubu-kubu islam di Indonesia adalah soal mis-komunikasi serta tiadanya keterbukaan mereka satu dengan yang lain)
Lain kata, konsep “Tuhan Sejarah” tidak memiliki pretensi teologis sama sekali. Sebagai kajian sosiologis pencetusnya, sudah barang tentu tidak pada tempatnya memfaatkan konsepsi “Tuhan Sejarah” sebagai justifikasi teologis atas berhala-berhala baru yang dalam kategori kontemporer kita tahu mengejawantah dalam bentuk uang, jabatan dll. Sekalipun konsepsi “Tuhan Sejarah” dapat diterima, maka secara antropologis manusia musti mengarahkan kesadarannya pada Tuhan yang satu, yang personal, yang merujuk pada Wujud Transendental nan Sakral, yang tak bisa lain –apa boleh buat- terdefinisikan dalam agama-agama wahyu. Bukankah ini hakikat dari pembelajaran akidah yang lazim digelar oleh institusi-institusi kegamaan, yang karena saking mendesaknya sehingga lebih mirip dengan indoktrinasi itu?
Kedua, Globalisasi dan/atau Great Disruption-nya Francis Fukuyama yang memaklumkan kemenangan Barat bukanlah alasan tepat untuk melegalkan keputus-asaan. Sebetulnya, apabila kita berkukuh dengan keterlenaan kita atas teori Fukuyama, memang tidak akan ada jalan selain menjadi hipokrit. Akan tetapi, kenapa kita tidak mempertimbangkan teori yang berbeda pada lokus yang sama. Benturan Peradaban-nya Samuel P. Huntington, misalnya. Bahwa, setelah perang dingin rampung, bakal ada imbangan kekuatan lain bagi barat, yaitu bongkah-bongkah power dari Timur –dalam hal ini Islam. Teori Huntington sepertinya lebih menunjukkan agregat keberhasilan daripada ramalan Fukuyamayang ternyata hanya berfungsi sebagai provokasi an sich (!).
Oleh karena itulah, masih tersisa sedikit banyak harapan untuk tidak menyerah kepada tuhan-tuhan palsu (Pseudo Gods). Basis teoritis dari spiritualitas-spiritualitas plastis milik barat terbukti rapuh. Cogito Ergo Sum adalah kesalahan sejarah (Historical Mistake). Descartes dkk keblinger sesaat ketika bersamaan dengan penggodaman atas tembok gereja, mereka juga sekaligus membunuh Tuhan dari dalam kesadaran. Ketidakberesan pada waktu itu seharusnya tidak ditafsirkan sebagai kerancuan ide kebertuhanan. Kesalahan, mestinya, ditanggungkan pada sebagian oknum yang menyelewengkan nama-Nya demi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kolektif.
Celaka beribu celaka, biaya kesalahan fatal ini ternyata harus ditanggung oleh anak cucunya beberapa abad kemudian. Seperti yang sering terdengar, abad 21 adalah abad spiritualitas (Fukuyama dan Armstrong mengakui juga kenyataan ini). Namun, sekali lagi beribu celaka, bangsa barat seakan tidak mampu memberontak dari ikatan kulturalnya yang materialistis. Sehingga muncullah corak-corak spiritualitas natural, seperti misal, Zen, Yoga, Kundalini, New Age dll. Mereka, kini, bosan dengan misteri yang kasat mata (baca; manusia, ego, aku dst). Pada pokoknya terdapat seberkas kerinduan pada Misterium yang benar-benar Fascianum. Hanya sayang, mereka tak sanggup mentas dari jebakan yang diciptakan oleh Founding Father mereka sendiri.
Adalah hal yang terlampau riskan apabila kita menghendaki keterpelesetan serupa. Kita begitu saja menerima produk-produk kultural yang diimpor melalui mekanisme pasar, yang justru di negeri asalnya telah dianggap sebagai sederajat dengan sampah. Kalau kita menyepakati teori tentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, maka di sinilah sejatinya penjajahan itu. Dengan menyuguhkan tuhan-tuhan palsu lewat pasar bebas, maka secara otomatis kita lebih mudah dikendalikan. Selagi kita masih menuhankan uang, misalnya dalam konteks kenegaraan, kita akan tetap bergantung pada lembaga-lembaga donor seperti IMF, G7, World Bank dll. Sementara itu Cogito Ergo Sum –yang sekarang boleh disetarakan dengan prinsip Laa ilaha illa ana, laa ilaha illal māl, atau laa ilaha illal jāh dst, masih terus akan didengungkan. Dan, seperti diduga, kita masih akan tetap saja diam. Wallohu A’lam
Puri Gading, 18 April 2008
MenS DeaTH
Ketika Dunia Tak Lagi Menyediakan Kebenaran
Selain Pembenaran atas Diri Sendiri
Maka,
Kemunafikan Menjadi Satu-Satunya Jalan Lempang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Information

This entry was posted on 22/09/2010 by in Essey.

Author

Masukkan alamat surel Anda untuk berlangganan blog ini dan menerima pemberitahuan tulisan-tulisan baru melalui surel.

Jejak

  • 82.936 hits